Bagaimana ya, mengatakan dengan jelas. Kehidupanku itu nyaris biasa saja. Bagiku sudah biasa di hukum pak Topan. Hukumannya sih receh, seperti diusir dari kelas atau memberi hormat pada bendera. Biasa saja kan.
Kini setelah diusir oleh pak Topan yang adalah notabene guru paling mengerikan di sekolah plus guru paling pelit nilai. Aku ada di kantin. Menikmati sepiring salad sayur yang di beri nama pecel. Aku menambahkan tiga sendok cabe, biar rasanya mantap.
“Itu perut nggak berasap ya, Nad?” tanya temanku padaku.
Aku tersenyum padanya, “mau coba?” tantang ku. Ku angkat sendokku ke arahnya.
Takut. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. “Aku belum mau mati.”
Mendengar ia berkata aku tertawa. Yang aku kasih bukan racun cuma makanan ekstra pedas. Mana mungkin bisa mati hanya dengan begitu. Palingan ia mencret. “Lebai!” seruku padanya. Kemudian ku masukan sendok berisi makanan itu ke dalam mulutku.
Aku kembali menikmati berisi pecel. Tidakku pedulikan dia yang mulai mencerocos tidak tentu arah. Mana ada orang makan sambil ngomong, bisa tersedak nanti.
“Nad, kamu nggak dengerin aku dari tadi, ya?”
Aku mengeleng segera. Memang sejak tadi tidakku dengarkan perkataannya.
“Tuh, kan. Kamu mah gitu. Suka gituin aku,” rajuknya padaku.
“Sarry sayang, mana ada orang makan sambil ngomong. Yang ada itu keselek.” Aku mencubit pipinya yang rada-rada tembem. “Kamu kok ada di luar, Sar?” tanyaku heran.
Soalnya yang ada di dalam itu pak Topan. Bukan sembarang guru. Kok bisa, sarry ada di kantin juga barengan aku.
Ia memainkan matanya padaku. Ah, andai saja ini bukan di sekolah bakal ku cubit mata nakalnya itu yang bikin aku penasaran.
BERSAMBUNG