Yang tersakiti, Yang mengobati

Ini kisah Arga dan Wira, yang terluka dan mencari obatnya.

4. Tak Sadar

Wira memijit kepalanya. Sedikit berdenyut. Mungkin karena semalam tidurnya tak bagus. Beberapa malam ini ia tak bisa tidur. Terlebih surat aneh yang selalu diberikan satpam padanya belakangan, semakin mengganggunya. Ia melenguh. Semakin sakit saja setiap kali ia berpikir. Mungkin jika ia memejamkan matanya sedikit bakal berkurang sakitnya. Wira baru saja akan terlelap saat tiba-tiba saja mendengar pekikan perempuan. Wira terlonjak. Kepalanya seperti dipukul dengan godam. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tidak ada siapa-siapa. Hanya dirinya saja yang berada di ruangan.

Dengan masih memegangi kepalanya yang berdenyut, Wira berjalan beringsut menuju pintu. Ia menjulurkan kepalanya keluar. Dilihatnya Tiara sekretarisnya masih duduk di tempatnya. Ia juga menoleh ke arah pintu saat mendengar derit gagang pintu.

“Pak Wira? Anda baik-baik saja?” tanya sekretarisnya itu. Begitu didapati Wira yang terlihat pucat.

Bukan hanya sakit kepala yang di deritanya kini. Tiba-tiba saja paru-parunya serasa tak berfungsi. Susah sekali untuk menghembuskan napas keluar masuk. Tapi, ia lantas mengangguk. “Ya.” Kemudian ambruk di ambang pintu yang tak sempurna terbuka itu.

Di tengah sisa kesadarannya, bukan suara Tiara yang berseru panik sambil memanggilnya. Suara lain, lebih lembut dan teduh. Terdengar begitu memilukan berteriak memanggil namanya. Lalu semuanya menjadi gelap.

🍀🍀🍀

Wira memejamkan mata lagi. Ia bermimpi. Buruk sekali hingga ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak tidur lagi. Ia mimpi mama meninggalkannya dan itu hal paling menakutkan di dunia. Lampu kamarnya mati, dalam hati ia bertanya apakah sedang mati lampu. Sebab, Wira takut kegelapan. Seolah sesuatu akan menyeretnya dari dalam kegelapan dan tak membiarkannya pergi lagi. Ujung jarinya menyentuh sesuatu yang basah. Anyir. Kata itu terlontar di otaknya seketika. Dengan was-was ia menoleh. Apakah? Apakah? Tapi, tak ada siapa-siapa di sana. Hanya seorang anak kecil yang sedang memeluk lutut. Kepalanya bersembunyi di antara kedua tangannya yang tersusun di atas lutut.
Wira berdiri. Mendekati bocah kurus itu. “Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?” tanyanya. Ia sendiri merasa heran kenapa begitu tertarik pada bocah itu. Bocah itu tak bergeming. Masih menyembunyikan kepalanya diantar kedua tangannya yang terlipat di atas lutut. “Hei.” Digoyangnya sedikit bahu bocah itu.

Hal itu membuahkan hasil. Kepala yang tadinya di sembunyikan kini terangkat. Wira beringsut kaget saat wajah itu sepenuhnya bisa ia lihat. Bukan lagi seorang bocah kini. Hanya ada dirinya. Seperti bercermin di sebuah kaca.

“Hai!” Dirinya yang lain itu menyapanya. “Sudah lama sejak kau tidak kemari lagi. Ku pikir kau tidak butuh aku lagi.” Ada senyum di bibir dirinya yang lain itu.

Wira tak menjawab. Tangannya hanya terulur untuk menyentuh makhluk yang ada di depannya itu kini. Masih duduk dengan memeluk dua lutut. Hanya saja tidak lagi bersembunyi. Kulit yang ia sentuh itu sama hangatnya dengan dirinya. Dirinya yang lain itu begitu nyata dan hidup.

“Lagi-lagi kau berpikir aku hanya bermimpi?” Dirinya yang lain tertawa. Menertawakan semua kebodohan Wira.

“Apa kau ini?”

“Tidak mungkin kau tidak tahu. Aku adalah kau.” Diri Wira yang lain beringsut mendekat.

“Tidak. Aku hanya bermimpi. Ini mimpi!” Wira berseru keras. Ia juga mengatakan pada dirinya untuk segera bangun.

“Kau benar, mungkin ini adalah mimpimu. Tapi, tidakkah aku begitu nyata untujku?” Dirinya yang lain menghilang. Lenyap begitu saja bagai kegelapan yang disinari.

🍀🍀🍀

Apa barusan abang memanggilnya? Arga berdiri dari sofa tempat ia duduk. Meletakkan majalah Kartini yang ada di bawah meja di atas meja dan berjalan ke arah ranjang. Ia di telepon mama saat ia baru melangkahkan kaki keluar kelas. Arga tak panik. Soalnya ini hal yang sering terjadi pada Wira. Belakangan sudah sedikit mulai berkurang dalam perawatan. Namun, jika sesekali kambuh. Maka di kamar inilah Wira akn terdampar paling tidak selama satu hari satu malam.

Dilihatnya kening Wira berkerut. Seolah berpikir sesuatu yang berat. Arga ingin sekali sedikit mengintip bagian mimpi Wira saat ini. Mungkin saja mimpinya tentang soal ulangan minggu ini (bercanda).

Wira duduk tiba-tiba dan tanpa aba-aba. Akibatnya kepala Arga dan Wira terbentur. “Wadowww!” pekik Arga sambil memegangi dahinya.
Wira pun melakukan hal yang sama.

Ia menggosok keningnya yang terbentur. “Kamu ngapain di depan wajah Abang?” tanyanya berang.

“Kalau bangun tidur tuh melek dulu, Bang. Jangan langsung duduk. Tersakiti otak gue bang,” keluhnya. Kepalanya nyeri kini dan ia yakin dahinya merah. Mengingat bagaimana bunyi benturan antar kepala tadi.

“Malah nyalahin abang. Situ yang salah.” Seketika suasana hati Wira jadi tak enak kini.

“Aduh…duh..duh…sakit Ma,” rengek Arga saat sebuah jeweran mampir ke telinganya. Siapa lagi jika bukan Indah, mama mereka yang tiba-tiba muncul diambang pintu dan menyaksikan dua putranya yang sedang beradu argumen.

“Jangan berisik di rumah sakit.” Jeweran Arga sudah lepas. Sebagai gantinya telunjuk Indah ada di bibirnya. Dilayangkan ciuman ringan pada putranya yang sedang terbaring.

“Pilih kasih. Aduh…duh…duh…sakit Ma!” pekik Arga saat Indah kembali menjewernya.

“Sudah baikkan, Wir?” Indah menatap serius pada anaknya.

Yang sedang terbaring mengangguk. “Padahal nggak usah dibawa ke rumah sakit segala, Ma.” Pelan Wira berujar. Ia tak ingin perempuan yang sudah merawatnya itu merasa khawayir lebuh dari ini.

“Bukan mama yang bawa kamu. Sekretaris kamu itu…siapa namanya? Ah, Tiara. Dia yang telepon ambulans.” Disodorkan piring kertas berisi buah jeruk dan apel yang sudah dikupas. Bukan Wira yang mengambilnya, tapi Arga yang antusias merampas. Ia kemudian menjauh dengan buah-buahan itu di tangan. “Kamu jangan terlalu capek.”
Wira tak menjawab, hanya mengangguk patuh dan mengalihkan pandangan pada adiknya Arga yang anteng menikmati buah. “Lapar kamu, Ga?” tanyanya. Lebih tepatnya menggoda.

“Emang.” Yang digoda malah mengaku jujur. “Waktu sekretaris abang telepon, Aga lagi di kantin mau pesan makan. Tapi, nggak jadi,” terangnya.

“Apa lagi?” tanya Wira curiga. Adiknya itu malah lirik sana sini. Ia yakin ada sesuatu.

“Itu.” Arga menunjuk pada baki berisi makanan. “Boleh makan nggak? Masih lapar.” Ia cengengesan malu.

“Makan sana,” suruh Wira. Arga langsung meloncat gembira dan mengambil mangkuk dalam baki. Aroma bubur ayam yang wangi mengguar samar. “Rakus.” Wira tertawa saat mengatakan itu.

Yang Tersakiti, Yang Mengobati

2. Futsal dan Peri galak

Arga berjingkat kaget. Saat sepatu futsal warna merah darah itu terlempar ke arahnya. Dalam hati ia bersorak kegirangan. Berhasil menyiksa abangnya yang benci sekali dengan warna merah. “Bang, itu sepatu hasil pinjam lho. Kalau rusak mesti ganti.” Ekspresinya dibuat sepolos mungkin kini.

“Sengaja kan, kamu?” tuduh Wira.

Arga mengerjap-ngerjap sok tak paham. Ia memandang kawan-kawannya yang lain yang ikut bingung. “Sengaja buat apa?”

Wira memejamkan mata. Ia berkata jika dirinya harus sabar berkali-kali. Ia tahu jika adiknya itu sengaja. Lihat saja nanti, akan diberi pelajaran di rumah.

“Eh, ada peri galak! Ga.”

Wira membuka matanya dan menoleh mendapati seorang gadis di belakangnya. Berdiri cemberut memandang pada gerombolan anak-anak SMA itu dan dirinya. Ia mengernyit dan memaki dalam hati.

Arga berdiri di depan Wira. Ia tahu jika abangnya itu mulai risi. “Ngapain peri galak kemari, harusnya kan pulang,” katanya menggoda.

“Kalau itu motor lo sama kronco-kronco lo sih, gue tinggal robohin. Tapi, gue nggak kuat balikin mobil. Geser mobil lo sana.” Gadis yang dipanggil peri galak itu berkata angkuh.

Arga menjulurkan kepalanya. Melihat jika mobil Wira terparkir menutupi gang masuk. Pastilah karena abangnya itu tergesa-gesa tadi. “Sorry, Baby! Pasti karena kita tergesa-gesa tadi.” Ia menadahkan tangan pada Wira minta kunci mobil.

Wira hanya menggeleng dan pergi. Ia tak mungkin memberi kepercayaan pada adiknya yang walaupun punya SIM motor dan bisa mengemudi, mengendarai mobil. Baginya Arga tetap anak di bawah umur.

“Sudah kan?” Arga bertanya. “Masih mau di sini? Kangen sama gue ya?” Arga menggoda gadis yang dipanggil peri galak itu.

Gadis itu mencibir. “Dalam imajinasimu.” Ia berbalik untuk pergi. Kemudian berbalik lagi seolah ia melupakan sesuatu. “Bilang sama om-om itu, gue hitam bukan karena kecebur got. Tapi, emang udah kulit gue kayak gini. Jangan sok jijik.” Kemudian ia benar-benar pergi kini.

Arga cuma mengangguk lalu bergumam dalam hati, andai Alisa tahu kenapa Abang gue bisa kayak gitu.

Lebih lengkap silakan cek link

https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2726835894044951

Yang Tersakiti, Yang Mengobati

1. Coba Nanti Cari Sendiri

https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2716324445096096

(Ingin baca selengkapnya, klik link)

Saat matanya pertama kali terbuka, hal pertama yang ia rasakan adalah rasa dingin meja. Pemuda itu mendesah. Lehernya sedikit ngilu saat kemudian secara tiba-tiba ia tegak. Salah tidur. Layar komputer di depannya masih menyala. Ia baru saja menyelesaikan laporan proyek pembangunan toko itu. Proyek yang baru beberapa bulan lalu ia menangkan bersama perusahaan. Pihak pemilik proyek menghubunginya tentang laporan proyek kemarin dan meminta laporan untuk jam 2 hari ini. Jadilah ia tertidur lagi di depan komputer. Untungnya mama sedang pergi ke rumah keluarnya kemarin dan baru pulang besok, jika tidak ia akan menerima hadiah omelan pagi ini.
“Bang, mau sarapan tidak?” Kepala seorang pemuda lain berseragam putih-abuabu muncul di pintu kayu kamarnya.
“Masak apa kamu?” tanyanya. Pasti adiknya itu ingin ditambah uang jajan kalau tidak mana mungkin adiknya itu tiba-tiba baik seperti pagi ini.
“Telur.”
“Cuma telur.”
“Pakai nasi goreng.”
“Bikinin roti bakar buatku.” Ia berdiri dan meregangkan ototnya setelah memprogram print laporan di komputer. Ia memutar pinggangnya ke kiri dan ke kanan sebelum mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Pastinya laporan sudah selesai tercetak dan ia sudah selesai berpakaian 15 menit kemudian. Dimasukkan laporan ke dalam map dan masuk juga dalam tas kerjanya. Disandangnya menuju ruang makan di lantai dasar.
“Telurnya hangus.” Wira protes saat mendapati pinggiran makanannya menghitam.
“Syukur udah mau bikinin,” kata adiknya itu sambil menyuap nasi goreng. Tinggal dua sendok lagi.
Dipotongnya telurnya dengan sendok dan dimakannya. Ia mengernyit. “Asin. Kamu masukan garam berapa banyak, Arga?” tanya sambil menggeser piring ke tengah.
“Setengah sendok teh,” jawab pemuda itu polos.
“Astaga!” Wira menggeleng-geleng takjub. Ia antara ingin marah dan juga prihatin kini pada adiknya. “Padahal cukup ujung sedok doang.”
“Bikin sendiri sana.”
Ia mendengus kesal lalu berdiri. Lama-lama melihat makhluk satu ini bakal bikin darahnya naik semakin tinggi. “Jangan lupa kunci rumah.” Lalu ia terhenti saat Arga menadahkan tangan. “Apa?” tanyanya sok tak tahu.
“Upah.” Arga cengengesan.
Dirogohnya sakunya oleh Wira. Dari dalam dompet dikeluarkan selembar uang dua puluh ribuan. “Nih.”
“Dikit amat?” Arga mengernyit tak terima.
“Coba nanti cari uang sendiri. Baru ngomong itu dikit apa banyak.” Ditinggalkan adiknya itu yang menggerutu panjang pendek.

Lily the secret of heart

Hi… Aku hadir lagi. Kali ini aku ingin promo kisah baru yang ku tulis di gwp (gramedia writing projek)

http://gwp.co.id/lily-the-secret-of-heart/

Ini adalah kisah tentang seorang gadis bernama Lily yang pendiam. Lily yang pintar, yang takut mengangkat kepalanya untuk menatap orang lain.

Bukan hanya Lily yang aku ceritakan di sini. Tetapi juga Abraham, seorang pemuda yang awalnya tertarik pada Lily yang kemudian menarik diri karena suatu hal. Tentang kemelut rumah Abraham.

Semoga kisah ini menjadi bacaan favoritmu. Singah dan tinggalkan vote ya. Mana tahu vote darimu membantu author Ngarep yang satu ini mengapai mimpi.

Sampai jumpa pada kisah Nadia kembali minggu depan.

Promo ebook

Judul: Home

Penulis: ArgaNov

Sepengal kisah,

Aurora hanya gadis biasa. Terlalu biasa dan tidak spesial. Namun, bagaimana jika gadis yang sangat biasa ini selalu merasa kehilangan sesuatu setiap kali ia memandang dirinya di cermin?

Rion menyukai Aurora sejak pertama kali bertemu di tempat kerja dengan gadis itu. Dan sejak Rion menemukan kotak pandora di kamar mendiang ayah Aurora, ia mulai mencari tahu masa lalu Aurora yang misterius.

Masalah lain timbul, ada pria lain yang juga tertarik dengan Aurora. Dan pria itu lebih segala-galanya daripada Rion. Bagaimana seorang Rion bisa menemukan masa lalu yang misterius dan sekaligus memenangkan hati sang gadis? Bisakah Aurora menemukan potongan dirinya yang mungkin hilang? Atau memang sengaja dihilangkan.

Dapatkan di gramedia digital atau

https://play.google.com/store/books/details?id=pkZiDwAAQBAJ

Ugly Diari (Nadia)

#4

Cih, aku berdecih dalam hati. Memang tak ada tempat lain bagi mereka berdua bermesraan macam ini. Dasar kurang kerjaan!

Alhasil, aku jadi bersender pada dinding kelas untuk menyembunyikan diri pada dua makhluk yang tengah peluk-pelukan di depan pintu. Bukan takut. Sungguh aku tak takut. Hanya jijik saja pada dua orang di depan sana yang tidak bisa melihat tempat di mana mereka sekarang berada. Ini sekolah, man. Bukan Hotel! Ujung sepatuku ku hentak-hentakkan ke lantai menjadi sebuah ritme frustasi. Pelan. Namun, ritme itu membantuku bertahan dan sabar.

“Oh, rupanya ada dia.”

Aku lantas menoleh. Dua orang yang tengah berpelukan tadi di depan kelas telah berganti tempat menjadi di sampingku. Sang gadis tampak bergelayut manja. “Rupanya dua pasangan mesum ada di sini.”

Bibirku berkedut mengejek. Tapi bukannya merasa tersindir, dua orang itu malah tertawa keras.

“Lo ngiri, kan, Nad?” tanya sang gadis. Telunjuknya mengarah kepadaku.

What? Apa aku nggak salah dengar tuh. Aku iri sama perbuatan mesum mereka. Iri dari mana? Dituduh demikian ku pelototi mereka dengan kejam. “Ngomong seenak udelmu,” kataku. “Tolong ya, Mas, ceweknya dikondisikan mulutnya. Mau gue cabein kayak kepala elo kemarin?” ancamku.

“Udahlah, Vi, ayo pergi. Dia cuma iri,” katanya pada sang gadis.

Perkataan dari pemuda itu yang tak lain adalah mantan pacarku yang kepergok berselingkuh lalu ku siram kepalanya pakai sambal soto dan kemudian ku putuskan, menaikkan kembali amarahku padanya yang mulai menghilang kemarin dan berganti dengan perasaan jijik padanya. “Selow, man! Salah orang lo. Lo itu cuma mantan yang gue buang. Jadi–silakan lakukan apapun hal menjijikan itu selama jangan bawa-bawa gue di dalamnya!” cibirku. Dan aku pun berlalu. Sumpah demi mimi peri di nirvana sana, aku ingin sekali menonjok wajahnya itu kini.

Sekarang dalam hati aku bertanya, kenapa dulu aku bisa menerimanya jadi pacarku? Pakai pelet apa hari itu dia kira-kira?

🍀🍀🍀

Rumus adalah masalah terbesar dalam hidupku. Bayangkan bermula dari rumus yang ada di buku catatan matematika sampai fisika, kimia, dan lainnya. Satu pun, tidak pernah bisa masuk ke dalam otakku. Hanya tuhan yang tahu bagaimana bisa aku selalu naik kelas.

Dan kini rumus logaritma menari-nari di mataku. Sungguh. Ini membuatku menderita dan sakit mata. Aku melenguh dengan lenguhan yang lebih berat dari lenguhan kerbau.

“Bagaimana nilai matematikamu bisa membaik jika cara belajarmu seperti ini.”

Aku kenal siapa yang menegurku. Ah, itu si jenius Laura. Kakak perempaunku. Ia kini kuliah jurusan matematika. Ya, matematika. Bayangkan apa yang aku dengar setiap kali pulang dengan nilai dibawah standar alias hancur. Ku ambil buku catatanku dan ku letakkan di depan wajah. Cara ini tidak ku jamin untuk kalian belajar. Cara ini hanya ku lakukan supaya sang jenius meninggalkan aku sendiri.

“Lagi belajar, Dek?” tanyanya. Aku yakin kini ia duduk di atas kasur, sebab kasur berderit pelan di sebelahku.

Dan aku memilih tak lantas menyahutinya.

“Sini aku ajarin! Kamu nggak ngerti, kan?” tawarnya padaku.

Ku buka buku yang menutupi wajahku dan aku menoleh ke arahnya. “Memang aku minta tolong sama kakak?” tanyaku dengan kesal. “Enggak, kan? Sudah sana. Nanti bodohku pindah sama kakak kalau kakak dekat-dekat,” tambahku. Aku mengibas-ngibaskan jemariku mengusirnya.

Ia ku lihat menghela nafas panjang. “Dek,” panggilnya pelan.

“Udah sana, aku nggak minta bantuan!” seruku keras.

Kembali kasur di sebelahku berderit. Dan kemudian terdengar derit pintu, mungkin Kak Laura menutup pintuku kembali.

Aku tidak benci padanya. Lebih tepatnya aku iri padanya yang terlahir dengan otak sempurna. Dan perlakuan Mama dan Papa yang dengan amat gamblang selalu menganak tirikan aku. Bukan kemauanku terlahir dengan otak pas-pasan walau berapa keras pun aku berusaha.

Ku tatap kembali rumus logaritma di buku catatan dan ku pandangi kertas buram yang sudah lecek karena tanpa ampun dicorat-coret. Gue harap Bu Ingrid nggak usah masuk besok, doaku dalam hati. Aku masih belum paham dengan semua itu.

Buku Karya Anak bangsa

LEAVE and TAKE
karya : ISTIQOMMAH ANTIKA PUTRI

Hanya rasa yang bicara…
Hanya rasa yang mengerti…
Hanya rasa yang akhirnya memutuskan…

Cinta memiliki rasa yang tidak bisa dijelaskan oleh siapa pun, hanya rasa dan hati yang mengerti bagaimana sebuah kenyamanan tercipta manakala ada kebersamaan.

Hanya saja terkadang waktu tidak dapat memberikan jaminan bahwa kecocokan selalu ada saat bersama. Ada saja riak kecil yang menggoyangkan permukaan air sehingga akhirnya kita berdua dihanyutkan gelombang jarak.

Namun saat jauh terpisah, tiada sedikit pun dusta bahwa sebenarnya kita saling membutuhkan dan harus memutuskan, kebersamaan itu indah. Antara kau dan aku ada sebuah kecocokan yang hanya bisa dimengerti oleh hati para pencinta.

Sayangnya, keegoisan kita terkadang menutup rasa yang seharusnya kita mengerti ini.

UNTUK MEMBACA LENGKAP KLIK LINK INI:

https://play.google.com/store/books/details?id=XYOGDwAAQBAJ

Bagi yang mau koleksi bukunya bisa dipesan online langsung kirim ke Whatsaap : 0895219481
16 harga Rp. 50.000

Dan bagi kalian yang ingin menjadi penulis Profesional dengan sistem pembayaran Royalti yang benar, yuk gabung di Komunitas Penulis Nusantara, komunitas terbesar di Indonesia dengan 75.000 penulis aktif. Hub whatsaap:
082338303371

@penerbitebookindo
@komunitaspenulisnusantara @sekiraibee
@bangrudiyant
@novel_detektifkonyol
#detektifkonyol #rudiyant #fabel #dongeng #kpn #komunitaspenulisnusantara #novelkpn #penulis #novelis #novelbaru #novelfantasy #mentorkpn #shinigami #shinigamiwar #sekiraibee
#detektifghaib #kpn #komunitaspenulisnusantara #kadabra #vanessa #viral #novelkpn #novelbaru #novelromance

Apa Kamu Bahagia?

“KAMU JANGAN MENGASIHANI AKU! AKU TIDAK BUTUH SEDEKAHMU!”

Aku memejamkan mata. Kenapa ingat hal itu di saat seperti ini. Padahal aku sudah bertekat melupakan kejadian memalukan yang terjadi tiga tahun lalu itu. Ya, aku harus melupakannya. Tapi, walau begitu di saat sendirian, aku selalu teringat.

Hujan di luar sana lebat. Bagaimana aku tahu? Sebab dari suaranya yang begitu keras menghempas atap seng rumahku. Juga desah angin. Pastilah kini ada badai di luar sana. Seperti juga ada badai dalam hatiku. Sebab, hari ini persis sama dengan hari tiga tahun lalu. Hari di mana Anita memakiku untuk pertama kalinya. Ya, Anita. Seorang wanita lain yang sudah aku anggap sebagai saudaraku. Ia lebih dari sahabatku. Kami tumbuh bersama di rumah ini. Setelah orang tuanya meninggal dan ia di angkat anak oleh keluargaku. Persahabatan kami menjadi semakin erat. Sampai Anita mengatakan jika ia menyukai seseorang saat masuk kuliah.

“Fokus dulu, Nit, baru juga semester satu,” tegurku.

“Ih Apaan sih, Cha. Nanti juga kalau kamu sudah mulai suka sama seseorang bakal kayak gini juga,” katanya kesal mungkin mendengar teguranku saban hari.

Ku lihat ia tersenyum semringah dan menceritakan betapa tampannya pemuda sesama jurusannya itu. Walau sebenarnya aku tak peduli tapi aku tetap berusaha menanggapinya dengan sabar dan memberi respon yang baik. Aku tak ingin dia sedih. “Namanya emang siapa?” tanyaku masih saja tetap sibuk mengetik tugas di laptop. Sesekali suara kertas dibalik menimpali.

Hening. Tidak aki dengar jawaban dirinya. Aneh sekali. Tadi ributnya minta ampun cerita soal ketampanan orang itu. Nah, di mana suara Anita kini saat ku tanya namanya. Akhirnya aku meninggalkan posisi enakku dan benar-benar memandang wajahnya kini. “Kamu nggak tahu namanya?” tebak ku. Dan diam dari Anita memberiku jawaban pasti jika tebakanku benar. Jelas. Aku tertawa keras kini dan dia melempari dengan bantal duduk.

“Ketawa aja terus sampai sakit perutmu itu!” teriaknya kesal. Ia ku lihat melipat tangannya di dada dan memalingkan wajahnya dariku.

Tawari menghilang. Berganti dengan dengusan nafas aneh setiap kali. Aku turun dari tempat tidur dan mulai mendekatinya. Ku raih tangannya yang terlihat. “Nita, sayang, jangan ngambek. Nanti kita cari tahu namanya, ya?” Aku berusaha membujuknya seperti biasa.

Matanya terlihat sipit memandangi, malah nyaris menghilang. Susah payah aku menahan nafas supaya tawaku tak meledak lagi. “Kok, wajah kamu gitu sih, Cha?” Dan dengan polosnya ia menanyaiku.

“Nggak usah nanya,” kataku sambil berjalan cepat kembali dalam posisi enakku. Dan ia jelas kembali cemberut.

Aku tengah konsentrasi memandangi jalanan. Orang itu belum datang, katanya ia masih ada kelas dan keluar lima belas menit lagi. Tak apa aku suka berada di kafe ini. Ini salah satu tempat yang bagus yang terletak di dekat kampus. Dan di sinilah aku bertemu dengan dia di hari aku menginjakkan kaki pertama kali di kampus waktu mendaftar. Tas kami tertukar. Aku dan dia tergesa-gesa untuk kembali dari ruang direktorat menuju kemari saat itu. Gedung direktorat kampus dan juga kafe ini lumayan jauh. Dia bilang saat pertama kali melihatku ia terpana, ia bilang begitu saat pertemu kedua kami. Kami saling janji untuk salin mentraktir. Dan sejak saat itu hubungan kami lebih dari sekedar salin kenal hingga sekarang. Dia, dia menyatakan cinta padaku minggu lalu setelah ujian.

Rasa dingin membuatku kaget dan setengah terpekik. Ia tertawa terkekeh muncul dari belakang setelahnya. Dengan membawa dua gelas minuman dingin. “Maaf,” punyanya tersenyum.

Sebenarnya aku tidak benar-benar marah padanya. Hanya saja, tak apa kan jika aku sedikit bersikap kekanak-kanakan di dekatnya. Aku bersyarat padatnya sekarang. Ku pandangi wajahnya yang selalu membuatku terpesona setiap kali melihatnya. Namanya Raditya Putra, anak jurusan ekonomi. Dan aku Anissa Apriliyanti, anak jurusan Bahasa.

“Jangan ngambek,” katanya. Ia memainkan alisnya dan sukses membuatku tersenyum. Dengan wajahnya yang menawan itu bagaimana aku bersikap sok jutek?

“Ah, Radi, kamu kenal nggak sama Anita?” Akhirnya aku ingat juga apa yang ingin aku tanyakan pada Radi sejak dua hari lalu. Sejak Anita mengatakan menyukai seseorang sejurusannya dengannya padaku malam itu.

“Anita?” Tadi berpikir sebentar. Aku tahu ia hanya pura-pura. Mungkin ia pikir aku curiga terhadap kesetiaannya.

“Iya, Anita! Isss, nggak mungkin nggak kenal kan sejurusan denganmu,” geramnya kesal. “Dia sahabatku!” tambahku.
“Oh, Anita yang itu!” Nah tuh kan dia kenal, dia pasti hanya berpura-pura tadi. “Dia yang rambutnya ikal itu kan, yang suka gigit pensil kalau ditanya.” Dideskripsikan bentuk dan kebiasaan Anita yang memang unik itu.

“Iya!” sahutku cepat. Aku menggigit sudut bibirku sebelum bicara lagi. Aku tahu aku tak seharusnya menanyakan ini pada Radi. Tapi aku tak tahu siapapun lagi di kelas ekonomi selain Radi supaya tahu siapa nama orang yang disukai Anita. “Kamu tahu nggak siapa yang lagi dekat sama Anita? Cowok?” tanyaku.

Mungkin hanya perasaanku saja atau memang terjadi tapi sekilas ekspresi Radi berubah tadi. “Mmm, di kelas dia nggak dekat dengan siapa pun,” katanya. Ku pikir ekspresinya berubah pasti karena berpikir.

“Radi, bisa bantu aku cari tahu orangnya nggak?” tanyaku kembali. Kalau dia sayang aku pasti akan dilakukannya. Tapi selama masa pacaran kami yang terbilang masih beberapa minggu, ia tak pernah mengecewakanku.

“Lho kenapa, aku?” tanyanya sedikit kaget. “Aku cowok lho, Nis,” tambahnya mengingatkan ku siapa dia.

Kau tertawa. Aku akan sangat paham jika ia tak mau. Tapi seperti yang aku bilang kalau aku tak punya teman lain di jurusan Ekonomi. Jadi aku lebih memilih mengatupkan kedua tanganku memohon padanya. Masa dia tega lihat aku macam ini.

Kulihat ia mengerucutkan bibirnya tanda tak suka. Tapi itu tidak membuat aku menyerah malah membuat aku berdebar. Tuhan, engkau menciptakan makhluk yang amat sempurna. Dan pada akhirnya ia mengangguk juga. Sudahkah aku bilang ia tak akan tega melihatku memohon begitu. Tapi mengapa perasaanmu menjadi tak enak?

Ah, sial! Paperku malah terbawa Anita. Sebenarnya aku bisa saja pergi ke koperasi di jalan masuk kampus. Tapi, di luar sana sedang hujan lebat disertai angin kencang. Teman sejurusannya mengatakan jika payungnya patah tadi saat menuju ke kampus, bayangkan apa yang terjadi padaku. Untungnya jurusanku dan jurusan Anita tak terlalu jauh, lagi pula jalan ke sana teduh dari guyuran hujan. Itu alasan paling penting mengapa aku lebih memilih menyusul Anita ketimbang malah pergi ke koperasi kampus.

Sepi. Kata pertama yang aku pikirkan saat berjalan di lorong jurusan ekonomi. Dalam otakku aku bertanya-tanya, mungkin saja aku terlambat dan Anita sudah pulang. Namun, semua pertanyaan ku tepis kembali. Saat ku dengar suara orang mengobrol sayup-sayup diujung sana. Ku percepat langkahku untuk menuju ruangan kelas Anita.

“Kok bisa sih kamu pacaran sama Anisa?” Langkahku terhenti. Kini aku bergerak perlahan, takut jika terdengar orang di dalam sana. “Aku suka sama kamu lebih dulu, kamu nggak bisa lihat?” Dan aku sudah sampai di pintu kelas dengan pintu yang terbuka separo. Hati-hati aku mengintip. Jika dugaanku benar maka itu adalah dia.

Radi berdiri sambil bersender di dinding dan dia, Anita berdiri sambil bicara panjang lebar. Aku mengepalkan tanganku untuk menahan amarahku. Aku menyayangi Anita. Dia sahabatku. Dia telah menjadi saudaraku. Tapi sepertinya selama ini hanya aku yang menyayanginya seperti itu. Mendengar semua hal buruk yang keluar dari mulutnya, sepertinya ia tak begitu peduli denganku. Padahal jika dia bilang padaku menyukai Radi, aku akan dengan senang hati mundur. Demi dia.

Tanpa sadar aku mendorong pintu hingga terkuak. Deritan suara engsel pintu yang mungkin lupa diminyaki oleh para pengurus gedung mungkin membuat keduanya langsung menoleh seketika. Radi langsung menegakkan tubuhnya saat melihatku. Sementara Anita, ia membuang muka. Aku melangkah menuju mereka berdua.

“Nis–.” Tatapanku menghentikan kata-kata Radi. Aku tidak mau bicara dengan Radi. Aku ingin mendengar sesuatu dari Anita.

“Kalau kamu bilang sama aku, aku pasti memikirkannya, Nit. Kemarin, saat aku tanya nama orang yang kamu sukai, kamu bukannya tidak tahu namanya, kan? Hanya tidak ingin memberitahuku yang sebenarnya.” Aku menatapnya dengan Air mata yang siap jatuh.

“Cha, pergi sana!” Ia mengusirku. Masih tidak ingin menatap mataku. “Jangan mengacau di sini,” tambahnya. Ia mendorong bahuku supaya menjauh darinya.

Toi aku kukuh untuk tetap mendekat padanya. Kali ini aku menarik bahunya supaya ia melihat padaku. “Nit!” panggilku. Aku sudah benar-benar berurai air mata. “Kalau kamu bilang aku bakal ngalah.”

Ia berbalik menatapku. Ia terlihat sangat marah. Aku pikir aku sudah mengatakan hal yang salah. Sebab bukan Cuma dia yang terlihat terkejut. Radi pun dengan cepat menangkap tanganku dan menggenggamnya erat. Ia mengerakkannya beberapa kali Supaya aku menoleh padanya. Tapi tak aku lakukan. Aku fokus membalas tatapan Anita.
“Aku–aku serius Nita. Bagiku kamu lebih penting.” Aku berusaha meyakinkannya.

Rahang Anita mengeras kini. “KAMU JANGAN MENGASIHANI AKU! AKU TIDAK BUTUH SEDEKAHMU!” Ia berteriak dan mendorongmu hingga terjengkang jatuh. Kepalaku terbentur keras, dan Radi berteriak ketakutan. Dan Anita bahkan tidak menoleh ke belakang.

***

“Cha! Kenapa kamu malah melamin di sini?”

Aku menoleh. Ibu ada di sana, berdiri di pintu. Terlihat kesal karena ku. “Ibu manggis kamu dari tadi, Ayo. Nanti kita ketinggalan pesawat!” serunya berang.

“Anita sudah datang, Bu?” tanyaku.

“Dia bakal ambil barangnya setelah kita berangkat. Ibu sudah tinggalkan kunci. Ayo, jangan melamun terus. Kam tahu nggak sih, kalau Mino suami kamu itu telepon Ibu dari tadi, Ibu jadi kesal.” Nah terjadilah gerutuan Ibu jika aku masih terus saja berlambat-lambat seperti biasa.

Aku menjawab sekenanya. Supaya Ibu tak terus menggerutu lalu turun ke bawah. Ku raih handphone ku dan ku kirim pesan ke Nimo. Mengatakan terima kasih karena sudah membuatku di marahi Ibu. Ia pasti akan membalasku nanti saat aku bertemu dia di Jogja. Mengacak rambutmu dan berkata betapa tinjunya dia. Ku keluarkan sesuatu dari dalam tas sandang. Sebuah boneka kecil dan sebuah kartu. Anita akan segera melihatnya jika ku letakkan di kasur. Ini masih kamarnya dan kamarmu sejak hari itu. Walau kami memilih untuk saling menghindar. Persis seperti hari ini. Ku perhatikan kartu ucapan itu sebentar lalu aku memutuskan keluar.

Boneka itu tersenyum manis di atas kasur. Menunggu empunya selanjutnya datang. Dan kartu berwarna biru muda itu menghiasinya.

Ku harap kamu bahagia, Anita.

Tamat

Ikutan yuk😄

Ingin BERKARYA dan menerbitkan BUKU?

Yuk bergabung di GRUP KPN – Komunitas Penulis Nusantara

Siapa pun kamu, pasti mampu dan bisa membuat Cerpen dan Novel, dan yang pasti, dengan bimbingan senior Mentor Novelis, karya-karya kamu pasti diterbitkan.

Di grup ini, kamu akan dibina, apa pun kendala kamu dalam menulis, akan dicarikan solusi dan jalan keluarnya.

Kapan lagi? Dimana lagi? Ada grup yg seperti ini.

Grup ini di sponsori Penerbit Ebookindo, sebuah induk persatuan penerbit dari Kunci Aksara, Lembar Langit Indonesia, Pustaka Novel Indonesia dan lainnya.

Masih tidak mau gabung, kapan lagi Berkarya Nyata, bukan berkarya mimpi.

*Caranya gabung.. Bagaimana?*

Cukup Subcribes Chanel Yutub ini, aktifkan Lonceng dan jangan lupa, tulis nama kamu di kolam komentar, lalu Screen Shot kirim ke admin dibawah ini

ArgaNov-082382011343

Nah ini yg penting, follow akun penerbit yg pasti menerbitkan bukumu, di Instagram : @penerbitebookindo.
Dan komunitas kami
@komunitaspenulisnusantara

#kpn #komunitaspenulisnusantara #bangrudiyant #rudiyant #beelesmana #penerbitebookindo #novelis #detektifkonyol #novel #cerpen #fabel #kadabra