4. Tak Sadar
Wira memijit kepalanya. Sedikit berdenyut. Mungkin karena semalam tidurnya tak bagus. Beberapa malam ini ia tak bisa tidur. Terlebih surat aneh yang selalu diberikan satpam padanya belakangan, semakin mengganggunya. Ia melenguh. Semakin sakit saja setiap kali ia berpikir. Mungkin jika ia memejamkan matanya sedikit bakal berkurang sakitnya. Wira baru saja akan terlelap saat tiba-tiba saja mendengar pekikan perempuan. Wira terlonjak. Kepalanya seperti dipukul dengan godam. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tidak ada siapa-siapa. Hanya dirinya saja yang berada di ruangan.
Dengan masih memegangi kepalanya yang berdenyut, Wira berjalan beringsut menuju pintu. Ia menjulurkan kepalanya keluar. Dilihatnya Tiara sekretarisnya masih duduk di tempatnya. Ia juga menoleh ke arah pintu saat mendengar derit gagang pintu.
“Pak Wira? Anda baik-baik saja?” tanya sekretarisnya itu. Begitu didapati Wira yang terlihat pucat.
Bukan hanya sakit kepala yang di deritanya kini. Tiba-tiba saja paru-parunya serasa tak berfungsi. Susah sekali untuk menghembuskan napas keluar masuk. Tapi, ia lantas mengangguk. “Ya.” Kemudian ambruk di ambang pintu yang tak sempurna terbuka itu.
Di tengah sisa kesadarannya, bukan suara Tiara yang berseru panik sambil memanggilnya. Suara lain, lebih lembut dan teduh. Terdengar begitu memilukan berteriak memanggil namanya. Lalu semuanya menjadi gelap.
🍀🍀🍀
Wira memejamkan mata lagi. Ia bermimpi. Buruk sekali hingga ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak tidur lagi. Ia mimpi mama meninggalkannya dan itu hal paling menakutkan di dunia. Lampu kamarnya mati, dalam hati ia bertanya apakah sedang mati lampu. Sebab, Wira takut kegelapan. Seolah sesuatu akan menyeretnya dari dalam kegelapan dan tak membiarkannya pergi lagi. Ujung jarinya menyentuh sesuatu yang basah. Anyir. Kata itu terlontar di otaknya seketika. Dengan was-was ia menoleh. Apakah? Apakah? Tapi, tak ada siapa-siapa di sana. Hanya seorang anak kecil yang sedang memeluk lutut. Kepalanya bersembunyi di antara kedua tangannya yang tersusun di atas lutut.
Wira berdiri. Mendekati bocah kurus itu. “Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?” tanyanya. Ia sendiri merasa heran kenapa begitu tertarik pada bocah itu. Bocah itu tak bergeming. Masih menyembunyikan kepalanya diantar kedua tangannya yang terlipat di atas lutut. “Hei.” Digoyangnya sedikit bahu bocah itu.
Hal itu membuahkan hasil. Kepala yang tadinya di sembunyikan kini terangkat. Wira beringsut kaget saat wajah itu sepenuhnya bisa ia lihat. Bukan lagi seorang bocah kini. Hanya ada dirinya. Seperti bercermin di sebuah kaca.
“Hai!” Dirinya yang lain itu menyapanya. “Sudah lama sejak kau tidak kemari lagi. Ku pikir kau tidak butuh aku lagi.” Ada senyum di bibir dirinya yang lain itu.
Wira tak menjawab. Tangannya hanya terulur untuk menyentuh makhluk yang ada di depannya itu kini. Masih duduk dengan memeluk dua lutut. Hanya saja tidak lagi bersembunyi. Kulit yang ia sentuh itu sama hangatnya dengan dirinya. Dirinya yang lain itu begitu nyata dan hidup.
“Lagi-lagi kau berpikir aku hanya bermimpi?” Dirinya yang lain tertawa. Menertawakan semua kebodohan Wira.
“Apa kau ini?”
“Tidak mungkin kau tidak tahu. Aku adalah kau.” Diri Wira yang lain beringsut mendekat.
“Tidak. Aku hanya bermimpi. Ini mimpi!” Wira berseru keras. Ia juga mengatakan pada dirinya untuk segera bangun.
“Kau benar, mungkin ini adalah mimpimu. Tapi, tidakkah aku begitu nyata untujku?” Dirinya yang lain menghilang. Lenyap begitu saja bagai kegelapan yang disinari.
🍀🍀🍀
Apa barusan abang memanggilnya? Arga berdiri dari sofa tempat ia duduk. Meletakkan majalah Kartini yang ada di bawah meja di atas meja dan berjalan ke arah ranjang. Ia di telepon mama saat ia baru melangkahkan kaki keluar kelas. Arga tak panik. Soalnya ini hal yang sering terjadi pada Wira. Belakangan sudah sedikit mulai berkurang dalam perawatan. Namun, jika sesekali kambuh. Maka di kamar inilah Wira akn terdampar paling tidak selama satu hari satu malam.
Dilihatnya kening Wira berkerut. Seolah berpikir sesuatu yang berat. Arga ingin sekali sedikit mengintip bagian mimpi Wira saat ini. Mungkin saja mimpinya tentang soal ulangan minggu ini (bercanda).
Wira duduk tiba-tiba dan tanpa aba-aba. Akibatnya kepala Arga dan Wira terbentur. “Wadowww!” pekik Arga sambil memegangi dahinya.
Wira pun melakukan hal yang sama.
Ia menggosok keningnya yang terbentur. “Kamu ngapain di depan wajah Abang?” tanyanya berang.
“Kalau bangun tidur tuh melek dulu, Bang. Jangan langsung duduk. Tersakiti otak gue bang,” keluhnya. Kepalanya nyeri kini dan ia yakin dahinya merah. Mengingat bagaimana bunyi benturan antar kepala tadi.
“Malah nyalahin abang. Situ yang salah.” Seketika suasana hati Wira jadi tak enak kini.
“Aduh…duh..duh…sakit Ma,” rengek Arga saat sebuah jeweran mampir ke telinganya. Siapa lagi jika bukan Indah, mama mereka yang tiba-tiba muncul diambang pintu dan menyaksikan dua putranya yang sedang beradu argumen.
“Jangan berisik di rumah sakit.” Jeweran Arga sudah lepas. Sebagai gantinya telunjuk Indah ada di bibirnya. Dilayangkan ciuman ringan pada putranya yang sedang terbaring.
“Pilih kasih. Aduh…duh…duh…sakit Ma!” pekik Arga saat Indah kembali menjewernya.
“Sudah baikkan, Wir?” Indah menatap serius pada anaknya.
Yang sedang terbaring mengangguk. “Padahal nggak usah dibawa ke rumah sakit segala, Ma.” Pelan Wira berujar. Ia tak ingin perempuan yang sudah merawatnya itu merasa khawayir lebuh dari ini.
“Bukan mama yang bawa kamu. Sekretaris kamu itu…siapa namanya? Ah, Tiara. Dia yang telepon ambulans.” Disodorkan piring kertas berisi buah jeruk dan apel yang sudah dikupas. Bukan Wira yang mengambilnya, tapi Arga yang antusias merampas. Ia kemudian menjauh dengan buah-buahan itu di tangan. “Kamu jangan terlalu capek.”
Wira tak menjawab, hanya mengangguk patuh dan mengalihkan pandangan pada adiknya Arga yang anteng menikmati buah. “Lapar kamu, Ga?” tanyanya. Lebih tepatnya menggoda.
“Emang.” Yang digoda malah mengaku jujur. “Waktu sekretaris abang telepon, Aga lagi di kantin mau pesan makan. Tapi, nggak jadi,” terangnya.
“Apa lagi?” tanya Wira curiga. Adiknya itu malah lirik sana sini. Ia yakin ada sesuatu.
“Itu.” Arga menunjuk pada baki berisi makanan. “Boleh makan nggak? Masih lapar.” Ia cengengesan malu.
“Makan sana,” suruh Wira. Arga langsung meloncat gembira dan mengambil mangkuk dalam baki. Aroma bubur ayam yang wangi mengguar samar. “Rakus.” Wira tertawa saat mengatakan itu.