Ugly Diari (Nadia)

#4

Cih, aku berdecih dalam hati. Memang tak ada tempat lain bagi mereka berdua bermesraan macam ini. Dasar kurang kerjaan!

Alhasil, aku jadi bersender pada dinding kelas untuk menyembunyikan diri pada dua makhluk yang tengah peluk-pelukan di depan pintu. Bukan takut. Sungguh aku tak takut. Hanya jijik saja pada dua orang di depan sana yang tidak bisa melihat tempat di mana mereka sekarang berada. Ini sekolah, man. Bukan Hotel! Ujung sepatuku ku hentak-hentakkan ke lantai menjadi sebuah ritme frustasi. Pelan. Namun, ritme itu membantuku bertahan dan sabar.

“Oh, rupanya ada dia.”

Aku lantas menoleh. Dua orang yang tengah berpelukan tadi di depan kelas telah berganti tempat menjadi di sampingku. Sang gadis tampak bergelayut manja. “Rupanya dua pasangan mesum ada di sini.”

Bibirku berkedut mengejek. Tapi bukannya merasa tersindir, dua orang itu malah tertawa keras.

“Lo ngiri, kan, Nad?” tanya sang gadis. Telunjuknya mengarah kepadaku.

What? Apa aku nggak salah dengar tuh. Aku iri sama perbuatan mesum mereka. Iri dari mana? Dituduh demikian ku pelototi mereka dengan kejam. “Ngomong seenak udelmu,” kataku. “Tolong ya, Mas, ceweknya dikondisikan mulutnya. Mau gue cabein kayak kepala elo kemarin?” ancamku.

“Udahlah, Vi, ayo pergi. Dia cuma iri,” katanya pada sang gadis.

Perkataan dari pemuda itu yang tak lain adalah mantan pacarku yang kepergok berselingkuh lalu ku siram kepalanya pakai sambal soto dan kemudian ku putuskan, menaikkan kembali amarahku padanya yang mulai menghilang kemarin dan berganti dengan perasaan jijik padanya. “Selow, man! Salah orang lo. Lo itu cuma mantan yang gue buang. Jadi–silakan lakukan apapun hal menjijikan itu selama jangan bawa-bawa gue di dalamnya!” cibirku. Dan aku pun berlalu. Sumpah demi mimi peri di nirvana sana, aku ingin sekali menonjok wajahnya itu kini.

Sekarang dalam hati aku bertanya, kenapa dulu aku bisa menerimanya jadi pacarku? Pakai pelet apa hari itu dia kira-kira?

🍀🍀🍀

Rumus adalah masalah terbesar dalam hidupku. Bayangkan bermula dari rumus yang ada di buku catatan matematika sampai fisika, kimia, dan lainnya. Satu pun, tidak pernah bisa masuk ke dalam otakku. Hanya tuhan yang tahu bagaimana bisa aku selalu naik kelas.

Dan kini rumus logaritma menari-nari di mataku. Sungguh. Ini membuatku menderita dan sakit mata. Aku melenguh dengan lenguhan yang lebih berat dari lenguhan kerbau.

“Bagaimana nilai matematikamu bisa membaik jika cara belajarmu seperti ini.”

Aku kenal siapa yang menegurku. Ah, itu si jenius Laura. Kakak perempaunku. Ia kini kuliah jurusan matematika. Ya, matematika. Bayangkan apa yang aku dengar setiap kali pulang dengan nilai dibawah standar alias hancur. Ku ambil buku catatanku dan ku letakkan di depan wajah. Cara ini tidak ku jamin untuk kalian belajar. Cara ini hanya ku lakukan supaya sang jenius meninggalkan aku sendiri.

“Lagi belajar, Dek?” tanyanya. Aku yakin kini ia duduk di atas kasur, sebab kasur berderit pelan di sebelahku.

Dan aku memilih tak lantas menyahutinya.

“Sini aku ajarin! Kamu nggak ngerti, kan?” tawarnya padaku.

Ku buka buku yang menutupi wajahku dan aku menoleh ke arahnya. “Memang aku minta tolong sama kakak?” tanyaku dengan kesal. “Enggak, kan? Sudah sana. Nanti bodohku pindah sama kakak kalau kakak dekat-dekat,” tambahku. Aku mengibas-ngibaskan jemariku mengusirnya.

Ia ku lihat menghela nafas panjang. “Dek,” panggilnya pelan.

“Udah sana, aku nggak minta bantuan!” seruku keras.

Kembali kasur di sebelahku berderit. Dan kemudian terdengar derit pintu, mungkin Kak Laura menutup pintuku kembali.

Aku tidak benci padanya. Lebih tepatnya aku iri padanya yang terlahir dengan otak sempurna. Dan perlakuan Mama dan Papa yang dengan amat gamblang selalu menganak tirikan aku. Bukan kemauanku terlahir dengan otak pas-pasan walau berapa keras pun aku berusaha.

Ku tatap kembali rumus logaritma di buku catatan dan ku pandangi kertas buram yang sudah lecek karena tanpa ampun dicorat-coret. Gue harap Bu Ingrid nggak usah masuk besok, doaku dalam hati. Aku masih belum paham dengan semua itu.

Leave a comment